Secara garis besar jenis dan fungsi kain tenun dapat dibagi dalam
empat kelompok yaitu, Tembe (Sarung), Sambolo (Destar), Weri (sejenis
ikat pinggang) dan Baju Mbojo.
A. Tembe (Sarung)
Tembe merupakan barang unggulan yang dihasilkan oleh para penenun.
Selain untuk diperjualkan oleh masyarakat lokal, juga menjadi salah satu
jenis barang yang laris dalam perdagangan Nusantara, terutama pada era
Kesultanan sampai dengan Tahun 1960-an.
Berdasarkan jenis dan fungsinya
Tembe dapat dibagi sebagai berikut;
1. Tembe Songke (Sarung Songket)
Bahan baku Tembe termasuk motif pada umumnya didatangkan dari luar
daerah. Pada masa Kesultanan para pedagang Mbojo, membeli benang untuk
Tembe Songke dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Selain
itu mereka membeli berbagai jenis kain dan asesoris untuk bahan baju
adat.
Pada umumnya “Dana” (warna dasar) Tembe Songke berwarna merah hati,
coklat dan hitam dengan motif garis-garis kecil dipadukan dengan motif
Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando, diperindah dengan
hiasan benang emas dan perak.
Fungsi utama Tembe Songke adalah untuk dipakai oleh kaum wanita
ketika mengikuti upacara adat dan upacara keagamaan. Idealnya Tembe
Songke tidak boleh dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tembe Kafa Na’e
Tembe Kafa Na’e (sarung dari benang besar) dalam pengertian, sarung
yang ditenun dari benang asli dibuat oleh para penenun sendiri. Bukan
benang berasal dari luar seperti Tembe Songke.
Berdasarkan motifnya, Tembe Kafa Na’e dapat dibagi dalam beberapa jenis :
a. Tembe Bali Mpida
Bermotif garis-garis lurus kecil, yang akan membentuk kotak-kotak
segi empat ukuran kecil. Karena itu Tembe Kafa Na’e diberi nama “Tembe
Bali Mpida” (bermotif garis kecil). Warna dasar (Dana), ada yang hitam,
coklat dan putih. Khusus “Tembe Sambea Kai” (sarung untuk sholat), harus
berwarna dasar putih (Dana Lanta).
b. Tembe Bali Lomba
Adalah Tembe Kafa Na’e yang motifnya berupa garis-garis lurus yang
besar dan akan membentuk kotak-kotak yang besar pula. Dana (warna dasar)
sama dengan warna dasar Tembe Bali Mpida.
c. Tembe Me’e (Sarung Hitam)
Tembe Me’e termasuk jenis Tembe Kafa Na’e yang warna dasarnya Me’e
(Hitam) tanpa motif. Sesuai dengan daerah atau Desa asal, Tembe Me’e
terdiri dari tiga macam:
1. Tembe Me’e Ntonggu, berasal dari Desa Ntonggu Kecamatan Palibelo.
2. Tembe Me’e Wera, berasal dari Desa Nunggi Tawali dan Desa lain di Kecamatan Wera.
3. Tembe Me’e Donggo, hasil tenunan kaum wanita Donggo Ipa di Kecamatan Donggo.
Warna me’e dibuat dari bahan lokal yaitu dari daun tumbuhan perdu yang oleh masyarakat disebut “Fu’u Dau” (Pohon Dau).
Jenis Tembe Kafa Na’e sudah langka, karena itu harganya mahal, terutama Tembe Me’e.
d. Tembe Nggoli
Tembe Nggoli mulai dikenal oleh masyarakat sekitar Tahun 1970-an.
Sebenarnya proses pembuatan serta motif dan warna dasar sama dengan
Tembe Kafa Na’e. Yang membedakannya adalah benang yang dipergunakan.
Kalau Tembe Kafa Na’e ditenun dari benang asli Mbojo, sedangkan Tembe
Nggoli ditenun dari benang buatan pabrik, berbentuk gulungan oleh
masyarakat benang itu disebut “Kafa Nggoli” (Benang Nggoli). Tembe yang
bahan bakunya dari Kafa Nggoli populer dengan nama “Tembe Nggoli”.
B. Sambolo (Destar)
Sambolo sejenis ikat kepala tradisional Mbojo, untuk kaum laki-laki.
Pada masa lalu merupakan hasil tenun unggulan setelah Tembe. Mulai usia
remaja, kaum laki-laki wajib memakai Sambolo, bila tidak dianggap
melanggar adat.
Warna dasar Sambolo hampir sama dengan Tembe Songke, ada merah hati,
coklat dan kuning. Dipadukan dengan motif Bunga Satako, Pado Waji dan
Kakando. Karena warna dan motif sambolo hampir sama dengan dengan Tembe
Songke, maka dinamakan “Sambolo Songke”.
Sekitar Tahun 1950-an, muncul Sambolo jenis baru dibawa oleh para
pedagang hewan (kuda) yang pulang dari Jawa Timur (Pasuruan,
Probolinggo). Bahannya dari batik, cara memakainya sama dengan memakai
blankon Jawa. Sambolo motif Jawa itu oleh masyarakat diberi nama
“Sambolo Bate” (Sambolo Batik). Tetapi kurang digemari oleh masyarakat
lokal.
C. Weri (Ikat Pinggang) dari Malanta Salolo
Ikat pinggang lokal Mbojo dengan warna kuning, merah hati atau coklat dengan motif Pado Waji, Kakando dan Bunga Satako.
Malanta Salolo, yaitu kain putih tanpa motif, ditenun khusus untuk bahan Salolo atau kain kafan.
D. Baju Mbojo
Sekitar tahun 1980-an, para penenun berhasil menambah koleksi hasil
karya mereka, dengan menampilkan bahan baju, yang dikenal dengan “baju
Mbojo”.
Bahan baju itu tetap tampil dengan warna dasar dan motif Mbojo,
dikombinasikan dengan motif-motif baru yang tidak bertentangan dengan
nilai dan norma adat. Warna merah tua, biru, coklat dan hijau tetap
menjadi warna dasar. Dipadukan dengan Motif Bunga Samobo, Bunga Satako,
Pado Waji dan Kakando sehingga produksi baru itu tetap berwajah Mbojo.
Kehadiran Baju Mbojo, mendapat sambutan positif dari masyarakat,
terutama golongan menengah ke atas. Pemerintah Daerah menganjurkan
kepada seluruh lapisan masyarakat agar mencintai Baju Mbojo. Sayang bagi
masyarakat lapisan bawah, sulit untuk menikmati atau memakai Baju
Mbojo, karena harganya cukup mahal, tidak terjangkau oleh penghasilan
mereka yang pas-pasan. Faktor harga ini pula yang menyebabkan Baju Mbojo
kalah bersaing dengan jenis baju yang harganya jauh lebih murah.
Di Ambil Dari :
http://sarangge.wordpress.com
Kamis, 28 Juni 2012
1 Jenis Dan Fungsi Kain Tenun Tradisional Bima-Dompu
Diposting oleh
Farah PinkQueenZa
di
23.25
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
hey.. Bima asli? yuk sumbangkan tulisan tentang pariwisata dan budaya bima di http://www.jelajahsumbawa.com
kita kenalkan Pulau kita pada dunia :)
Posting Komentar