Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif – pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik – antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemodernan” serta “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme” menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar.
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.
Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-an.
Wacana Pertama: Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu Pengetahuan
Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat.
Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Usmani menjadi “pasya” pada tahun 1805 dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan.
Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya pengislaman informasi sosial serupa tampak di Turki Usmani.
Di Turki, Sultan Salim III (1761-1808) mengembangkan teknologi militer Eropa, menerjemahkan buku-buku Eropa, dan memasukkan pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dengan pengajar-pengajarnya orang Eropa. Puncaknya adalah ketika Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi di Turki dengan gagasan sekularismenya.
Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi Muslim jauh tertinggal dari Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan Muslim memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini masih mewarnai pemikiran Muslim hingga kini.
Wacana Baru: Islamisasi Ilmu pengetahuan
Setidaknya sejak dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya ada cukup beragam (kelompok) pemikir Muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda – dan tak jarang terdapat pertentangan di antara ragam pendapat itu.
Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat sehubungan dengan penggunaan kata “ilmu pengetahuan” atau “sains”, “islamisasi”, dan kata Islamic dalam Islamic science.
Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah dipaparkan di atas, sebetulnya ini telah mulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan Muslim dari Barat di masa-masa sebelumnya telah mengkristal menjadi “gerakan” dengan orientasi baru ini. Pada beberapa kelompok, kedua istilah baru ini, Islamic science dan Islamization of knowledge nyatanya tampak hanya sekadar menjadi baju baru dari usaha yang telah dilakukan beberapa pemikir di masa-masa sebelumnya – terkadang dengan lebih efektif.
Istilah “sains” (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia Barat sejak beberapa abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatarbelakangi kebiasaan bahasa Inggris modern – berbeda dengan kebanyakan bahasa lain – untuk membedakan science, sebagai istilah yang dipakai untuk ilmu pengetahuan alam atau “eksakta” (“pasti”), dari berbagai cabang ilmu pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Itulah sebabnya berkembang istilah seperti Islamic science dan terjemahan science dan Islamic science oleh sejumlah orang Indonesia dan Malaysia dengan “sains” dan “sains Islam”. Namun, karena istilah “sains” merupakan alih istilah dari bahasa Inggris, dan alih peristilahan yang berdasarkan suatu pembedaan antara cabang ilmu pengetahuan yang “eksakta” dan yang “kurang eksakta”, yang telah sering dipermasalahkan, artikel ini lebih menggunakan istilah “ilmu pengetahuan” daripada “sains”. Perlu ditambahkan bahwa wacana “islamisasi ilmu” dan “ilmu pengetahuan islam” terpusat pada ilmu pengetahuan alam, walaupun tidak terbatas padanya.
Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tak terkecuali Muslim. Sebagai akibat, sebagian ilmuwan Muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut “islamisasi” ilmu pengetahuan atau pengembangan “ilmu pengetahuan Islam”. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan. Maka wajar pula jika serangan terhadap gagasan ini biasanya berupa upaya mempertahankan premis penting itu. Dan ini biasanya datang dari Muslim praktisi ilmu pengetahuan seperti Abdus Salam.
Jelas bahwa “ilmu pengetahuan Islam” adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut “Zaman Keemasan” Islam. Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan Muslim (dan, sebagian kecilnya, non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya “islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena islamisasi dibandingkan dengan, misalnya, metafisika.
Jadi, di sini istilah “Islam(i)” digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana istilah “modern”, “abad pertengahan”, “klasik” atau “Yunani” digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai-nilai Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuan modern dan Islam.
Empat pemikir muslim kontemporer yang dapat mewakili wacana baru ini adalah Syed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar. Bukanlah suatu kebetulan jika keempatnya terdidik di universitas-universitas Amerika dan Eropa dan terutama menulis dalam bahasa Inggris. Wacana baru ini memang berkembang terutama di kalangan komunitas intelektual Islam berbahasa Inggris, yang baru muncul secara jelas setelah paruh pertama abad ke-20 ini.
Kecenderungan Wacana Islam dan Ilmu Pengetahuan di Indonesia
Di Indonesia, pembicaraan tentang Islam dan ilmu pengetahuan tampak sejalan dengan - dan, sebagian besarnya, mengikuti - apa yang berkembang di kalangan pemikir Muslim dunia umumnya. Hingga dasawarsa 1980-an, tulisan-tulisan tentang Islam dan ilmu pengetahuan, yang amat langka, terutama berkaitan dengan sumbangan Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern, sejarah tokoh-tokoh ilmuwan Muslim di masa kejayaan Islam, ataupun kesejajaran ajaran Islam dengan temuan ilmu pengetahuan mutakhir. Di sini kita bisa menyebut, misalnya, karya S.I. Poeradisastra yang paling menonjol, Sumbangan Islam untuk Ilmu Pengetahuan (1981) dan beberapa buku Soedewo P.K. yang menulis tentang teori-teori mutakhir ilmu pengetahuan dan kesesuaiannya dengan tauhid dan al-Quran. Di masanya, pada tahun 1960-an, karya-karya Soedewo dapat dikatakan maju. Mungkin karena Soedewo berasal dari lingkungan Ahmadiyah, ia menjadi tak cukup menonjol, bukunya juga tak tersebar luas.
Diskursus tentang masalah ini tampak lebih menonjol ketika kecenderungan wacana "islamisasi ilmu" berkembang di luar. Dimulai pada sekitar pertengahan tahun 1980-an, pembicaraan tentang islamisasi ilmu cukup mendominasi dan mencapai klimaksnya pada akhir dasawarsa itu.
Salah satu seminar pertama yang cukup berarti untuk dapat dikatakan menandai munculnya wacana islamisasi ilmu adalah "Diskusi Panel Epistemologi Islam", di Masjid Istiqlal, 23 November 1985 . Seperti tampak dalam makalah-makalahnya, kata "epistemologi" dalam tema diskusi panel tersebut tampaknya dipahami lebih dalam kaitannya dengan upaya penciptaan suatu ilmu pengetahuan islami daripada sebagai suatu bagian dari pengkajian filsafat pada umumnya. Varian pandangan yang muncul dalam diskusi itu pun berada dalam kerangka wacana islamisasi ilmu yang telah berkembang di luar.
Selain dalam banyak seminar, hingga pada akhir dasawarsa 1980-an, isu islamisasi ilmu amat sering muncul dalam beberapa jurnal keislaman. Yang penting dicatat di sini adalah Ulumul Qur'an, yang pada edisi-edisi awalnya sempat menurunkan isu ini sebagai tema utamanya. Pada saat yang sama, dalam ruang lingkup yang lebih kecil, buletin 24-halaman Salman, yang diterbitkan oleh sekelompok mahasiswa di masjid Salman-ITB, sempat secara amat gencar membahas isu ini. Sementara dalam Ulumul Qur'an spektrum pro-kontra mengenai gagasan ini terwakili, Salman tampak hanya mewakili gagasan-gagasan yang muncul dalam Afkar-Inquiry (yaitu, "kelompok Ijmali"). Ulumul Qur'an, diterbitkan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), mencerminkan hangatnya perdebatan mengenai isu ini, hingga setidaknya tahun 1993. Sebagai jurnal kajian Islam dengan tiras terbesar, Ulumul Qur'an dapat dikatakan mewakili arus utama perbincangan intelektual Muslim. LSAF sendiri cukup banyak mensponsori berbagai diskusi, termasuk "Diskusi Panel Epistemologi Islam" di atas. Beberapa penulis yang muncul di UQ sempat mengemukakan pandangannya yang cukup komprehensif seperti, misalnya, Hana Djumhana Bustaman, yang mengembangkan psikologi islami.
Buku-buku yang diterbitkan mengenai isu ini di Indonesia , nyaris semuanya merupakan terjemahan. Dan hampir semua buku utama dari berbagai varian pandangan telah diterjemahkan. Dari penulis Indonesia sendiri, hanya sedikit nama yang dapat disebutkan. Sebagian besar dari mereka menulis di jurnal atau majalah keislaman, dan hanya amat sedikit yang menulis buku khusus mengenai masalah ini.
Di antara yang sedikit ini, Ahmad Baiquni menulis Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (1983). Pandangan Baiquni - seorang fisikawan - mirip dengan Abdus Salam. Bagi Baiquni, berbicara tentang Islam dan ilmu pengetahuan berarti menunjukkan kesesuaian ayat-ayat al-Qur'an dengan temuan ilmu pengetahuan kontemporer. Ia, di antaranya, menunjukkan bahwa pandangan mutakhir tentang alam semesta yang memuai telah diisyaratkan dalam al-Qur'an.
Setelah perbincangan tentang tema ini tampak melemah selama beberapa tahun di awal 1990-an, pada Agustus 1994 diadakan seminar internasional tentang Islam dan ilmu pengetahuan di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung dengan sponsor Lembaga Mukjizat Al-Qur'an, yang berada di bawah Rabithah 'Alam Islami (Liga Dunia Islam), yang berpusat di Mekah. Sesuai dengan nama lembaga sponsor itu, penekanan seminar itu adalah pada pengungkapan kesesuaian temuan ilmu pengetahuan modern dengan ayat-ayat Al-Qur'an, yang dianggap sebagai mukjizat.
Lalu, pada Juni 1996, bersama dengan lembaga itu dan IIIT, B.J. Habibie (l. 1936) - sebagai ketua ICMI yang giat mengembangkan teknologi tinggi di Indonesia - melakukan penandatangan kesepakatan pembentukan forum bersama untuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan sumberdaya manusia di depan Ka'bah, Mekah. Forum yang bernama International Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development, (IFTIHAR, Forum Islam Antarbangsa untuk Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Manusia) itu pada 6-8 Desember 1996 mengadakan konferensi pertamanya di Jakarta . Konferensi yang diikuti 400 peserta dari 50 negara itu menunjuk Habibie sebagai ketuanya, dan melahirkan rancangan aksi yang disebut Deklarasi Jakarta. Terselenggaranya konperensi ini sendiri tak bisa dilepaskan dari figur Habibie - sebagai ketua ICMI dan Menteri Riset dan Teknologi - yang melahirkan slogan "iptek dan imtak" (ilmu pengetahuan dan teknologi, dan iman dan takwa)".
Majalah Islam yang berbasis di London Impact International menjadikan peristiwa ini sebagai laporan utamanya, dengan judul "Science and The Muslim World, Breaking the Self-Exile" (Januari 1997). Seperti ditulis di situ, dari segi jumlah dan keragaman pesertanya, konferensi ini bisa disejajarkan dengan Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada 1977. Masih dibutuhkan beberapa waktu sebelum arah dan efektivitas forum ini bisa dinilai. Namun melihat isi rancangan aksi tersebut dan dipilihnya Habibie sebagai ketua, telah tampak bahwa forum ini akan lebih pragmatis, dan mengikuti gagasan Abdus Salam dalam melakukan pemerataan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam daripada terlibat dalam pembicaraan teoretis tentang pembentukan ilmu-ilmu Islami.
Satu hal penting yang dapat disimpulkan dari seluruh perkembangan ini adalah bahwa kecenderungan wacana tentang Islam dan ilmu pengetahuan di Indonesia dapat dikatakan merupakan miniatur dari wacana serupa yang muncul di luar. Ini berkaitan baik dengan tahap-tahap perkembangan wacana itu, maupun dengan adanya spektrum pandangan-pandangan yang semuanya mendapatkan wakilnya di sini.
>>> Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Ikhtiar Baru-van Hoeve, Jakarta (September 2002)
Zainal Abidin Bagir<<<
Zainal Abidin Bagir<<<
0 komentar:
Posting Komentar