Pernikahan atau Nika ra neku dalam tradisi
Bima- Dompu memiliki aturan baku. Aturan itu cukup ketat sehingga satu
kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi
tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak
diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari
jalan berpapasan. Jika kebetulan berpapasan, maka calon dianggap tidak
sopan. Untuk itu, harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu.
Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh
segenap anggota masyarakat. Kini, tentu saja aturan tersebut sudah
ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana.
“ Nika ro Neku” terdiri dari dua kata yaitu nika dan neku.
Kata nika bersal dari bahsa Indonesia ( bahasa melayu) nikah. Karena
bahasa Bima-Dompu tidak mengenal konsonan akhir, maka kata nikah menjadi
“ nika”. Kata neku atau nako sama artinya dengan “nika”. Pengertian
nika ro neku adalah serangkaian upacara adat yang dilakukan sebelum dan
sesudah upacara lafa( akad).
Bagi semua orang tua, akan merasa berbahagia bila bisa melaksanakan
sunah Rasul yang menganjurkan muslim dewasa untuk menikah. Oleh sebab
itu tidaklah mengherankan bila pelaksanaan nika diawali serta diakhiri
dengan berbagai upacara adat sebagai luapan rasa bahagia dan syukur
kehadapan Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT.
Bagi masyarakat Bima-Dompu, upacara nika ro neku, merupakan upacara
daur hidup yang sangat menentukan masa depan putra – putri mereka.
Keluarga, sanak saudara, karib kerabat, dan warga terlibat dalam upacara
ini. Karena itu upacara Nika ro neku termasuk “ Rawi Rasa” ( upacara
yang harus melibatkan seluruh warga kampung).
Pada masa lalu, rangkaian pernikahan adat masyarakat Bima-Dompu cukup
panjang yang dimulai dari proses meminang atau yang dikenal dengan La
Lose Ro La Ludi hingga upacara Tawari atau Pamaco. Rangkaian dari
upacara adat ini mengandung makna yang mendalam untuk diterapkan dalam
hidup dan kehidupan sehari-hari. Seluruh rangkaian upacara itu
sesungguhnya sesuai dengan ajaran Agama Islam dan norma-norma yang
berlaku di masyarakat.
Rangkaian upacara itu telah tumbuh, berkembang dan bersemi dalam jiwa
masyarakat pendukung kebudayaan Bima-Dompu selama berabad – abad
lamanya. Masa kesultanan telah menyumbangkan nilai-nilai besar bagi
perkembangan upacara adat dalam peri kehidupan masyarakat. Karena pada
masa itu seni dan budaya, adat dan agama berjalan beriringan seperti dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Namun setelah masa kesultanan berakhir dan seiring dengan perubahan
zaman, rangkaian dari prosesi itu sudah banyak yang tidak dilakukan
lagi. Pola hidup masyarakat masa kini yang serba simpel adalah salah
satu penyebab dari hilangnya pagelaran upacara-upacara tersebut. Kini
yang masih tetap dilakukan hanyalah seputar proses peminangan dan
tunangan, pengantaran mahar, akad nikah dan resepsi yang megah.
Pola hidup masyarakat masa kini yang serba praktis dan simpel karena
ksibukan masing-masing telah menggeser budaya gotong royong dan Teka Ra
ne’e (pengantaran sumbangan ke keluarga yang berhajat) dalam setiap
proses pernikahan di tengah masyarakat.
Untuk itu perlu sebuah upaya secara sungguh-sungguh untuk
melestarikan kembali prosesi pernikahan adat Bima-Dompu untuk
kepentingan wisata budaya yang akan menarik minat wisatawan, sekaligus
penanaman nilai-nilai kepada generasi muda.
Di Ambil Dari :
http://sarangge.wordpress.com
Sabtu, 30 Juni 2012
0 Makna Pernikahan Dalam Tradisi Bima-Dompu
Diposting oleh
Farah PinkQueenZa
di
21.00
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar