Sejak berdirinya Kerajaan Bima pada
abad II M, sampai berakhirnya masa kesultanan pada tahun 1951, jumlah
istana yang ada II buah. Dari II istana yang didirikan pada masa
kerajaan dan kesultanan hanya dua yang bisa kita saksikan yaitu Asi Bou
& Asi Permanen yang masih berdiri dengan megah dan indah.
Istana Bima yang dalam Bahasa Bima
populer disebut ”Asi” mulai di kenal oleh masyarakat di sekitar abad II
M, bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Bima. Sejak itu, Indra Zambrut,
Raja Bima yang pertama mendirikan ”Asi Wadu Perpati”, merupakan Asi
tertua di Kabupaten Bima. Pembangunan Asi di laksanakan dengan cara
”karawi kaboro” atau disebut dengan gotong royong oleh rakyat di bawah
pimpinan Bumi Jero sebagai Kepala Bagian Pembangunan dan Pertukangan.
Sejak pemerintahan Raja Bima pertama Indra Zamrud sampai dengan
pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Istana di bangun dengan bahan kayu jati
alam yang berumur ratusan tahun. Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim
istana di bangun secara semi permanen di buat dari kayu jati alam,
serambi depannya dibuat permanen. Pada masa Pemerintahan Sultan Muhammad
Salahuddin di bangun istana permanen yang sekarang masih berdiri
dengan megahnya.
Istana Bima adalah bangunan bergaya Eropa. Mulai dibangun pada tahun
1927. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek putra Indonesia
kelahiran Ambon, Obzichter Rehatta, dia berada di Bima karena dibuang
oleh penjajah Belanda karena beliau adalah seorang tokoh pergerakan. Ia
dibantu oleh Bumi Jero Istana yang kini telah beralih fungsi sebagai
Museum Daerah itu adalah sebuah bangunan permanen berlantai dua yang
merupakan panduan arsitektur asli Bima dan Belanda. Istana tersebut
diselesaikan dalam tempo tiga tahun, dan resmi menjadi Istana Kesultanan
Bima pada Tahun 1929. Pembangunan istana dilakukan secara gotong royong
oleh masyarakat, sedang sumber pembiayaan berasal dari anggaran belanja
kesultanan dan uang pribadi sultan.
Asi Mbojo, bangunan paling indah dan megah pada masa kesultanan,
memiliki halaman seluas 500 meter persegi yang ditumbuhi pohon-pohon
rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan istana diapit oleh dua
pintu gerbang timur dan barat yang senantiasa dijaga oleh anggota
pasukan pengawal kesultanan. Pintu gerbang sebelah timur disebut “Lawa
Kala” atau “Lawa Se”. Dinamakan “Lawa Se” karena di buat lebih awal,
“Lawa Kala” merupakan pintu masuk anggota sara hukum dan para ulama.
Pintu gerbang sebelah barat disebut “Lare-Lare” merupakan pintu gerbang
resmi kesultanan, sedangkan pintu gerbang dibelakang istana terdapat
pintu gerbang yang disebut “Lawa Weki” tempat masuk para anggota
keluarga istana. “Lare-Lare” mirip masjid bertingkat tiga. Tingkat atas
loteng di pergunakan untuk menyimpan tabur rancana dan dua buah lonceng.
Tabur rancana di bunyikan pada jam 18.00-20.00. Disamping itu Tabur
rancana di bunyikan sebagai tanda bahwa upacara adat ”Hanta Ua Pua” akan
di mulai. Dua buah lonceng mempunyai fungsi yang berbeda satu lonceng
berfungsi untuk pemberitahuan jam atau waktu, sedangkan yang satu
berfungsi untuk memberikan tanda bahaya.
Konsepsi tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan istana
lain di tanah air. Istana menghadap ke barat. Didepannya terdapat tanah
lapang atau alun-alun namanya Serasuba. Disinilah raja tampil secara
terbuka didepan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya pada saat
diselenggarakannya upacara-upacara penting atau perayaan hari besar
keagamaan. Serasuba juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan.
Disebelah selatan alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, sebagai
sarana kegiatan ritual keagamaan (islam). Kini masjid itu bernama Masjid
Sultan Salahuddin. Tanah lapang berbentuk segi empat (mendekati bentuk
bujur sangkar). Satu sisi bersebelahan dengan bangunan masjid, dan
disisi lain menyatu dengan halaman istana. Jelaslah bahwa bangunan
istana, alun-alun, dan masjid merupakan satu kesatuan yang utuh.
Di depan Asi bagian barat terdapat beberapa meriam kuno, dan tiang
bendera setinggi 50 meter terbuat dari kayu jati “Kasi Pahu” Tololai
(Sekarang terletak di Wera Barat) yang kemudian disebut Tiang “Kasi
Pahu”. Tiang bendera tersebut dibangun oleh Sultan Abdullah untuk
memperingati Hari Pembubaran Angkatan Laut Kesultanan. Sultan Abdullah
terpaksa membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi
keinginan penjajah Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan Bima
untuk menyerang pejuang – pejuang Gowa – Makassar dan Bugis.
Tiang Kasi Pahu sempat roboh karena lapuk. Tahun 2003 dibangun kembali
atas inisiatif Hj. Putri Maryam. Bahannya bukan jati Tololai – karena
jati disana tidak ada lagi – tapi merupakan kayu jati kelas satu di
Wawo, Bima.
Disebelah selatan Asi, berdiri sebuah masjid kesultanan yang megah
dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Tahun 1872 Masehi.
Masjid yang bersejarah tersebut pernah hancur dibom oleh Sekutu pada
Perang Dunia II.
Fungsi istana bima pada masa lalu, terutama pada masa kesultanan adalah sbb;
1. sebagai tempat tinggal sultan bersama keluarganya, rumah tempat tingal, rumah bicara dan rumah bangsawan.
2. sebagai pusat pemerintahan.
3. sebagai pusat penyiaran agama islam.
4. sebagai pusat pengembangan kesenian dan kebudayaan.
5. sebagai pusat peradilan.
Setelah gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) meresmikan Asi Mbojo sebagai
Museum Daerah, pada Agustus Tahun 1989, pembenahan – pembenahan terhadap
museum dilakukan secara insentif. Dengan demikian status museum berada
dibawah naungan pemerintah. Hal ini diperkuat setelah otonomi daerah.
Museum tersebut menyimpan 320 jenis barang peninggalan
kerajaan/kesultanan, misalnya mahkota bertahtakan intan dan permata dan
sejumlah benda bernilai lain masih tersimpan di brankas Pemda Bima.
Berikut ini di jelaskan mengenai ruangan-ruangan yang berada Istana Kesultanan Bima sebagai berikut :
1. Ruang aula depan bagian utara.
Ruangan ini pada masa lalu di pakai sebagai ruang upacara resmi serta
tempat penyambutan tamu-tamu dalam jumlah besar dalam upacara
tradisional, dan tempat dilaksanakannya hukum sara dan hukum hadat yang
berlaku bagi orang-orang yang bersalah dan sekarang menjadi tempat
pengelaran upacara adat, kesenian tradisional dan permainan rakyat serta
tempat penyambutan rombongan turis mancanegara, yang di suguhkan oleh
sangar-sangar kesenian tradisional Kabupaten Bima yang di koordinit oleh
Istana Bima.
2. Ruang penyimpanan :
1. Ruang dalam I
Ruang ini tempat menyimpan barang-barang tradisional untuk segala kegiatan di bidang pertanian dan pertenakan.
2. Ruang dalam II
Di ruang ini di simpan barang-barang tradisional yang berhubungan
dengan daur hidup dan upacara-upacara kehamilan, kelahiran, khitanan,
perkawinan, dan kematian.
3. Ruang dalam III
Dalam ruangan ini di simpan barang-barang yang berhubungan dengan perdangangan perekonomian.
4. Ruang dalam IV
Ruangan ini tempat menyimpan barang-barang tradisional yang berhubungan dengan kehidupan dan pengobatan.
5. Ruang dalam V.
Ruangan ini merupakan ruangan yang di pergunakan untuk menyimpan benda-benda tradisional dan benda-benda peralatan rumah tangga.
6. Ruang dalam VI
Ruangan ini dipergunakan untuk menyimpan barang-barang trandisional
berhubungan dengan kegiatan kerajaan dan pertukangan serta transportasi
berupa pertukangan kayu, besi, alat-alat trasportasi dan pengangkutan
serta peralatan kesenian seperti gendang, gong dan sebagainya.
7. Ruang dalam VII
Ruangan ini merupakan kamar untuk menyimpan barang yang berhubungan
dengan berbagai macam pakaian adat dan pakaian upacara serta berbagai
jenis pakaian dari berbagai kelompok suku yang ada dan pernah ada di
daerah bima, di ruangan ini juga di simpan buku-buku sejarah dan
naskah-naskah kuno.
8. Ruang Terbuka bagian utara
Ruangan dekat tangga ini dulu berfungsi sebagai tempat untuk ”doho sara”
Bumi Nae Ngeko yaitu Syara Hukum Islam. Ruang itu kini menjadi tempat
visualisasi alat-alat untuk bertani, berternak, berburu, dan menangkap
ikan masyarakat awam.
3. Ruangan besar bagian utara (Ruang Emas).
Ruangan ini dulu disebut ruang ”Saro Nae” yang dulu berfungsi sebagai
tempat musyauwarah Majelis Hadad dan tempat dilaksanakannya hukum sara
dan hukum hadat. Sekarang ruang ini dipakai untuk memajang benda-benda
pusaka milik kesultanan yang tarbuat dari emas, perak, yang terdiri dari
senjata-senjata berupa;
a. Senjata keris dan tatarapang dari berbagai jenis dengan ukuran khas
b. Pedang dan sondi
c. Berbagai tombak dan lembang
d. Peralatan upacara
e. Peralatan hidangan
f. Peralatan untuk hias pakaian kebesaran dan pakaian haraan.
4. Ruangan lantai atas
Lantai atas terdiri atas 10 kamar dan sebuah ruangan yang terbuka yang
cukup luas, kamar dan lantai di tata dalam bentuk asli. Tata ruangan dan
kehidupan kesultanan dan seluruh keluarga berupa ruangan tidur beserta
segala peralatanya yang terdiri dari ruangan tidur sultan, ruang tidur
putra sultan, ruang tidur para putri sultan serta ruang kerja sultan.
Asi Mbojo, kendati harus menanggalkan fungsi-fungsi pentingnya,
hendaknya tetap merupakan pusat pengembangan seni dan budaya Bima.
Fungsi tersebut perlu dilestarikan terutama untuk pengembangan
pariwisata di Bima.
5. Asi Bou ( Istana Baru )
Asi Bou, demikian orang Bima menyebut Istana Kayu ini. Asi Bou berarti
Istana Baru. Dalam bahasa Bima, Asi berarti Istana, Bou berarti baru.
Tidak banyak yang tahu Istana ini. Bangunan ini terkesan tertutup
karenanya Asi Bou penuh misteri.
Asi Bou berdampingan dengan Istana Bima. Persisnya disebelah timur
Istana Bima. Dia seperti mengawal bangunan disebelahnya. Istana ini
sebenarnya hanya tempat tinggal keluarga kerajaan. Dia tidak digunakan
sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagian besar bangunan Asi Bou terbuat dari kayu. Itu sebabnya disebut
sebagai Istana Kayu. Konstruksinya seperti lazimnya rumah panggung di
Bima.
Sesuai namanya, Asi Bou dibangun belakangan, pada masa pemerintahan
Sultan Ibrahim (1881 – 1961). Sebelumnya telah ada istana lama yang
dibangun pada abad ke – 19.
Sultan Ibrahim membangun Asi Bou untuk anaknya yang menjadi putra
mahkota atau Raja Muda yakni Muhammad Salahuddin. Kelak, setelah
Muhammad Salahuddin menjadi raja, dia memilih tinggal di Istana Lama.
Asi Bou selanjutnya ditempati oleh adiknya, Haji Abdul Azis atau akrab
dipanggil Ruma Haji. Dia menempati Asi Bou sampai akhir hayatnya.
Selanjutnya, istri dan anak – anaknya, menempati rumah tersebut.
Asi Bou kini termasuk bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan. Hal
ini tertuang dalam Monumenten Ordonantie Stbl. 238 Tahun 1931 pasal 1
ayat 1,a, juga UU Republik Indonesia No. 5 Tahun 1998.
Di Ambil Dari :
http://chuppy.blog.com
Kamis, 28 Juni 2012
0 Istana Bima (Asi Mbojo)
Diposting oleh
Farah PinkQueenZa
di
02.49
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar