Mulanya saya terkaget-kaget ketika seorang kawan saya yang petinggi KNPI
itu mengirim sms berbahasa Bima yang mempertentangkan ungkapan ”Nggahi
Rawi atau Nggahi Wari Pahu” ini. Saya berasumsi positif saja – sebagai
teman ini merupakan cibiran kolektif atas realitas di daerah tercinta.
Salah satu kunci filosofi hidup luhur yang bermakna adalah mestilah
mengamalkan Nggahi Rawi Pahu (terjemahan bebasnya kira-kira: satu kata
dan perbuatan). Betapa indahnya kalau bisa memadukan keduanya. Tetapi
yang namanya hidup bisa saja berseberangan. Mulai dari pertentangan
dalam diri, pertentangan antara hati dan realitas, antara harapan dan
kenyataan dan kemudian pertentangan antara realitas yang satu dengan
lainnya.
Lalu bagaimana bisa muncul ungkapan paradoks Nggahi Wari Pahu ? (tidak
satu kata dan perbuatan). Pasti ada sewsuatu yng perlu direnungkan.
Secara kasar bolehlah dikatakan ”pengkhianatan” atas apa yang
dijanjikan. Di satu sisi mungkin saja pihak yang berada dalam kekuasaan
formal tidak merasa mwlkukan pengabaian atas amanah yang ada
ditangannya, karena seperti yang diungkap kolumnis Mohamad Sobary,
kadang kekuasaan selalu sibuk sendiri melihat dirinya. Sementara para
kawula mempersepsikan dan menilai secara berbeda atas apa yan g mereka
lihat dan terima.
Sejarah kehidupan sosial politik masyarakat Bima menempatkan para
pemimpin sebagai kiasan hawo ro ninu bagi masyarakatnya – hawo semacam
tempat berteduh, pohon rindang dikala kegerahan, tempat berlindung
dikala hujan. Dan ninu – bayangan. Pemimpin diibaratkan sebagai pohon
yang rindang, kekuasaan itu mestinya menjadi tempat berteduh para
kawula, wong cilik, rakyat yang kurang mendapat tempat dalam ranah
sosial ekonomi, tempat dimana keluh kesah didengarkan, tempat berlindung
dari kedzaliman. Sebagai hawo ini tentu saja mesti mendapatkan
keteduhan yang dipancarkan melalui tutur kata, perbuatan dan juga sikap
adil.
Pemimpin pada tingkat manapun; keluarga, desa, kabupaten hingga pusat,
mestinya menyediakan ruang yang cukup bagi publik untuk turut serta
dalam kegiatan pemerintahan dan memberi ruang untuk bertanya mengapa
suatu kebijakan belum dilaksanakan, menerima kritik dari rakyat dengan
segala kelapangan dada. Sejarah Bima pun mencatat ketika seorang raja di
lanti to tuha (dilantik dan dikukuhkan) dia harus melewati satu proses
penting ’dicaci maki sedemikian rupa dengan segala umpatan, pedang
terhunus, mendengarkan kata-kata yang menyakitkan dari para Ncuhi yang
merupakan representasi kekuasaan di tingkat wilayah. Apa maknanya?
Pemimpin harus siap menerima segala kritik dan hal yang tidak berkenan
dari rakyat yang memberinya amanah. Masyarakat zaman dulu juga diberikan
ruang untuk berdialog dengan pemimpinnya.
Pelataran Utara dan Barat Asi
Mbojo itu juga representasi bagaimana penguasa menyediakan ruang bagi
publik untuk ’melihat’ bagaimana pemerintahan dijalankan. Prosesi
perjalanan rombongan Ua Pua yang berakhir halaman istana sebenarnya juga
simbol bagaimana pemimpin jaman dulu memberi ruang kepada rakyat untuk
berinteraksi dengan kekuasaan. Jadi kalau misalnya hari ini ada pemimpin
tidak siap melakukan itu semua maka tidak memahami akar budaya itu
sendiri.
Kita yang hidup saat ini memang tidak diwajibkan mengikuti pola zaman
dulu. Tapi memaknai dan menerapkan nilai-nilai tersebut sesuai dengan
konteks saat ini juga penting. Menengok kebelakang bagaimana orang-orang
zaman dulu hidup tidk berarti mengembalikan romantisme masa lalu.
Bila kita hayati makna yang tertuang dalam lagu Bima ”kalampa Taki” kita
akan menemukan ungkapan bijak ”kalampa taki, ade aina tuka, aina tuka
ade labo ncara eda. Ncara si eda kalampa wati adil, kalampa ku makou
dirawi sama kai. Ta fiki ulu di nggahi ra eli, tafiki kabaeku au dinee
kabua. Sabua kupehe di nggahi rawi pahu. Wara di eda kalampakai mbeko
aade, wara di ma boha kalampa kai ma iha”
(melaksanakan tugas, jangan putus asa, jangan berputus asa dan salah
melihat. Kalau salah melihat –akan menjalankannya dengan tidak adil,
laksanakanan dengan patut kepentingan umum. Kalau melaksanakan dengan
hati yang tidak lurus akan menemukan sesuatu. Ada yang akan dialami
kalau melaksanakan dengan cara yang salah).
Bagi kita yang memahami bahasa Bima, betapa dalamnya makna ungkapan yang
disampaikan turun temurun ini. Kita yang hidup hari ini tidak semata
diminta melafalkan syair lagu ini, tetapi yang lebih penting adalah
menghayati dan melaksanakannya sesuai peran dalam masyarakat. Ukuran
keadilan dan kepatutan mungkin saja elastis sesuai tafsiran masyarakat
yang hidup. Pihak-pihak yang berkuasa baik formal maupun non formal bisa
saja lebih bebas menafsirkan kadilan dan kepatutan itu sebatas
kepentingan diri dan kelompoknya menjadi: adil bagi kelompok dan
orang-orangnya dan patut bagi diri dan orang-orangnya. Siapapun yang
mendapat kekuasaan berpotensi menyelewengkan makna kedua ungkapan bijak
diatas.
Tetapi jangn lupa esensi dari ungkapan ajakan diatas adalah
betapa perlunya kita fiki kabae au di kabua-berpikir masak-masak hal-hal
yang akan dilakukan. Pemimpin dalam tingkatan manapun perlu memahami
hal ini agar tidak mendapat label pemimpin sontoloyo.
Mengapa ini perlu, jawabannya karena “wara di ma boha kalampa kai ma
iha”-akan ada ganjaran bagi tindakan yang salah. Jadi hati-hatilah
melaksanakan tugas yang bertalian dengan kepentingan umum.
Di Ambil Dari :
http://sarangge.wordpress.com
Kamis, 28 Juni 2012
0 Nggahi Rawi Pahu atau Nggahi Wari Pahu ?
Diposting oleh
Farah PinkQueenZa
di
22.02
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar