Hallo,, selamat datang di blog ku,, jangan lupa di follow yah,, tinggalin komentarnya juga,,

Kamis, 28 Juni 2012

0 Nggahi Rawi Pahu atau Nggahi Wari Pahu ?

     Mulanya saya terkaget-kaget ketika seorang kawan saya yang petinggi KNPI itu mengirim sms berbahasa Bima yang mempertentangkan ungkapan ”Nggahi Rawi atau Nggahi Wari Pahu” ini. Saya berasumsi positif saja – sebagai teman ini merupakan cibiran kolektif atas realitas di daerah tercinta.

      Salah satu kunci filosofi hidup luhur yang bermakna adalah mestilah mengamalkan Nggahi Rawi Pahu (terjemahan bebasnya kira-kira: satu kata dan perbuatan). Betapa indahnya kalau bisa memadukan keduanya. Tetapi yang namanya hidup bisa saja berseberangan. Mulai dari pertentangan dalam diri, pertentangan antara hati dan realitas, antara harapan dan kenyataan dan kemudian pertentangan antara realitas yang satu dengan lainnya.

      Lalu bagaimana bisa muncul ungkapan paradoks Nggahi Wari Pahu ? (tidak satu kata dan perbuatan). Pasti ada sewsuatu yng perlu direnungkan. Secara kasar bolehlah dikatakan ”pengkhianatan” atas apa yang dijanjikan. Di satu sisi mungkin saja pihak yang berada dalam kekuasaan formal tidak merasa mwlkukan pengabaian atas amanah yang ada ditangannya, karena seperti yang diungkap kolumnis Mohamad Sobary, kadang kekuasaan selalu sibuk sendiri melihat dirinya. Sementara para kawula mempersepsikan dan menilai secara berbeda atas apa yan g mereka lihat dan terima.

      Sejarah kehidupan sosial politik masyarakat Bima menempatkan para pemimpin sebagai kiasan hawo ro ninu bagi masyarakatnya – hawo semacam tempat berteduh, pohon rindang dikala kegerahan, tempat berlindung dikala hujan. Dan ninu – bayangan. Pemimpin diibaratkan sebagai pohon yang rindang, kekuasaan itu mestinya menjadi tempat berteduh para kawula, wong cilik, rakyat yang kurang mendapat tempat dalam ranah sosial ekonomi, tempat dimana keluh kesah didengarkan, tempat berlindung dari kedzaliman. Sebagai hawo ini tentu saja mesti mendapatkan keteduhan yang dipancarkan melalui tutur kata, perbuatan dan juga sikap adil.

      Pemimpin pada tingkat manapun; keluarga, desa, kabupaten hingga pusat, mestinya menyediakan ruang yang cukup bagi publik untuk turut serta dalam kegiatan pemerintahan dan memberi ruang untuk bertanya mengapa suatu kebijakan belum dilaksanakan, menerima kritik dari rakyat dengan segala kelapangan dada. Sejarah Bima pun mencatat ketika seorang raja di lanti to tuha (dilantik dan dikukuhkan) dia harus melewati satu proses penting ’dicaci maki sedemikian rupa dengan segala umpatan, pedang terhunus, mendengarkan kata-kata yang menyakitkan dari para Ncuhi yang merupakan representasi kekuasaan di tingkat wilayah. Apa maknanya? Pemimpin harus siap menerima segala kritik dan hal yang tidak berkenan dari rakyat yang memberinya amanah. Masyarakat zaman dulu juga diberikan ruang untuk berdialog dengan pemimpinnya. 

    Pelataran Utara dan Barat Asi Mbojo itu juga representasi bagaimana penguasa menyediakan ruang bagi publik untuk ’melihat’ bagaimana pemerintahan dijalankan. Prosesi perjalanan rombongan Ua Pua yang berakhir halaman istana sebenarnya juga simbol bagaimana pemimpin jaman dulu memberi ruang kepada rakyat untuk berinteraksi dengan kekuasaan. Jadi kalau misalnya hari ini ada pemimpin tidak siap melakukan itu semua maka tidak memahami akar budaya itu sendiri.

      Kita yang hidup saat ini memang tidak diwajibkan mengikuti pola zaman dulu. Tapi memaknai dan menerapkan nilai-nilai tersebut sesuai dengan konteks saat ini juga penting. Menengok kebelakang bagaimana orang-orang zaman dulu hidup tidk berarti mengembalikan romantisme masa lalu.
      Bila kita hayati makna yang tertuang dalam lagu Bima ”kalampa Taki” kita akan menemukan ungkapan bijak ”kalampa taki, ade aina tuka, aina tuka ade labo ncara eda. Ncara si eda kalampa wati adil, kalampa ku makou dirawi sama kai. Ta fiki ulu di nggahi ra eli, tafiki kabaeku au dinee kabua. Sabua kupehe di nggahi rawi pahu. Wara di eda kalampakai mbeko aade, wara di ma boha kalampa kai ma iha”
(melaksanakan tugas, jangan putus asa, jangan berputus asa dan salah melihat. Kalau salah melihat –akan menjalankannya dengan tidak adil, laksanakanan dengan patut kepentingan umum. Kalau melaksanakan dengan hati yang tidak lurus akan menemukan sesuatu. Ada yang akan dialami kalau melaksanakan dengan cara yang salah).

      Bagi kita yang memahami bahasa Bima, betapa dalamnya makna ungkapan yang disampaikan turun temurun ini. Kita yang hidup hari ini tidak semata diminta melafalkan syair lagu ini, tetapi yang lebih penting adalah menghayati dan melaksanakannya sesuai peran dalam masyarakat. Ukuran keadilan dan kepatutan mungkin saja elastis sesuai tafsiran masyarakat yang hidup. Pihak-pihak yang berkuasa baik formal maupun non formal bisa saja lebih bebas menafsirkan kadilan dan kepatutan itu sebatas kepentingan diri dan kelompoknya menjadi: adil bagi kelompok dan orang-orangnya dan patut bagi diri dan orang-orangnya. Siapapun yang mendapat kekuasaan berpotensi menyelewengkan makna kedua ungkapan bijak diatas.  
 
     Tetapi jangn lupa esensi dari ungkapan ajakan diatas adalah betapa perlunya kita fiki kabae au di kabua-berpikir masak-masak hal-hal yang akan dilakukan. Pemimpin dalam tingkatan manapun perlu memahami hal ini agar tidak mendapat label pemimpin sontoloyo.

      Mengapa ini perlu, jawabannya karena “wara di ma boha kalampa kai ma iha”-akan ada ganjaran bagi tindakan yang salah. Jadi hati-hatilah melaksanakan tugas yang bertalian dengan kepentingan umum.

Di Ambil Dari :
http://sarangge.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar