Melintasi sepanjaang jalan lintas Bima-Sape tepatnya di sebelah timur
Terminal Kumbe Kota Bima, kita akan menemukan kedai-kedai Oi Ta’a atau
air lontar yang dijual warga di kelurahan Oimbo kota Bima. Oi Ta’a atau
sebagian orang Bima juga menyebtunya dengan Oi Tua ini untuk harga satu
botol dalam botol kemasan yang berisi 500 ml dijual seharga Rp.5000,-.
Sedangkan dalam botol yang beisi 1500 ml air lontar dijual dengan harga
Rp.10.000. Menurut Ramlah (40 thn), lebih dari 30 kepala keluarga di
kelurahan ini menggantungkan hidup dari berjualan Oi Ta’a. Hampir
setengah dari mereka yang memiliki kebun-kebun lontar yang lokasinya
berada di sekitar kampung Oimbo. Sementara sebagian lainnya mengambil
dari pemilik kebun dan menjual di kedai-kedai di pinggir jalan lintas
Bima-Sape. Para penjual membeli air lontar dari pemilik kebun dengan
harga Rp.2.500 untuk ukuran botol kecil dan Rp.7.500 untuk botol besar.
Kemudian dijual dengan harga Rp.5000 untuk botol ukuran kecil(tanggung)
dan Rp. 10.000 untuk botol ukuran besar. Jadi tiap botol air lontar
mereka rata-rata mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.500.
Menyadap air lontar tentu tidaklah mudah. Hanya orang-orang tertentu dan
yang memiliki keahlian memanjat pohon lontar yang dapat menyadapnya.
Karena ketinggian pohon-pohon lontar ini bisa mencapai lebih dari 20
meter. Pada umumnya ketinggian pohon lontar berkisar antara 15 sampai 20
meter. Kehati-hatian dan kondisi prima sangat dibutuhkan dalam memanjat
pohon lontar, karena sering kali terjadi pemanjat yang jatuh dan
menyebabkan patah tulang hingga berujung kematian. Untuk memanjat pohon
lontar, warga Oimbo biasa menggunakan RANGGE. Rangge adalah semacam
tangga yang dibuat dari bambu yang dikenal dengan OO TODO. Bambu ini
adalah memang jenis bambu yang biasa digunakan untuk memanjat pohon
lontar karena disetiap ujung pangkalnya dapat dipasangkan kayu sebagai
tempat pijakan pada saat memanjat.
Waktu yang tepat untuk mengambil air lontar adalah pada pagi hari dan
sore hari. Sementara produksi air lontar yang melimpah di Oimbo ini
berlangsung dari bulan April hingga Agustus. Pada musim hujan produksi
air lontar dari kebun-kebun warga berkurang. Agar air lontar tahan lama
dan bisa disimpan dalam botol selama dua sampai tiga hari, warga merebus
sekitar setengah jam. Karena berdasarkan pengalaman warga, air lontar
hanya bertahan beberapa jam, setelah itu akan terasa asam. Oleh karena
itu, meminum air lontar yang menyegarkan adalah pada saat baru disadap
dari pohonnya.
Air buah Lontar memiliki rasa manis bercampur asam dan beraroma khas
bisa menjadi pilihan yang cocok untuk dijadikan minuman pembuka pada
saat buka puasa. Selain memiliki rasa yang unik, air buah tersebut
dipercaya bisa membuat orang yang meminumnya lebih berenergi dan tahan
lapar. Hal inilah yang membuat air tersebut diburu oleh Umat Islam,
khususnya di Bulan Ramadhan. Disamping itu air lontar juga diyakini
dapat menurunkan tekanan darah tinggi.
Disamping airnya, lontar memiliki banyak manfaat antara lain daunnya
dapat digunakan sebagai bahan membuat rokok, bahan Topi dan untuk
membuat payung (Paju longge) dalam upacara-upacara adat Bima. Dan pada
jaman dulu ketika manusia belum mengenal kertas, daun lontar merupakan
media dan alat untuk menulis. Terbukti dalam naskah-naskah kuno kerajaan
Bima maupun Gowa menggunakan daun lontar yang dikeringkan.
Sedangkan Rasa buahnya terbilang unik. Daging buahnya empuk, segar,
manis, seperti daging buah kelapa. Ditambah lagi, air segar dari dalam
buahnya agak terasa manis. Memakan buah lontar rasanya seperti memakan
kelapa muda dengan airnya sekaligus. Namun, untuk mencicipi sebuah
lontar seukuran kolang-kaling tersebut memerlukan perjuangan besar
karena harus mengupas kulit buah lontar yang sangat tebal.
Kulit buah lontar tebal seperti buah kelapa. Di dalam kulit buah yang
tebal tersebut terdapat dua sampai empat buah serupa biji kolang-kaling.
Satu pohon lontar dapat menghasilkan sekitar enam liter air lontar tiap
hari. Daging buah lontar setengah tua dijadikan makanan ternak.
Air lontar bisa dimasak menjadi gula air atau disebut juga dengan tuak
nasu. Gula air berwarna kuning kecokelatan. Bila gula air dimasak hingga
kering dan dibentuk lempengan akan disebut gula lempeng. Tapi proses
ini menurut penuturan warga sangat panjang dan melelahkan.
Kembali ke nama Oimbo. Dalam legenda tanah Bima,nama kampung ini
diberikan oleh Raja Indra Zamrut untuk mengenang adiknya Indra Komala
yang telah memakjulkan diri di sebuah mata air di ujung selatan kampung
ini karena adanya perselisihan di antara keduanya mengenai mata pancing
Indra Zamrut yang dihilangkan oleh Indra Komala. Nama Oinbo berasal dari
Oi Mbora (Air Yang Hilang) karena di mata air itulah Indra Komala
menenggelamkan diri hingga menghilang.
Kebiasaan warga Oi Mbo mengambil dan menjual air lontar sudah
berlangsung turun termurun. Perlu sentuhan-sentuhan pemberdayaan untuk
penjual air lontar ini agar mereka dapat terus bergelut dengan berjualan
air lontar sekaligus mewarisi budaya leleluhurnya. Estetika dan
pariwisata, perlu penataan kedai—kedai ini agar teratur dan tertata rapi
sehingga menarik minat orang yang melintas untuk sekedar mampir
beristirahat sambil menikmati Oi Ta’a Oi Mbo.
Di Ambil Dari :
http://sarangge.wordpress.com
Kamis, 28 Juni 2012
0 O'i Ta'a Oimbo
Diposting oleh
Farah PinkQueenZa
di
21.00
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar